Kamis, 24 November 2011

resensi cerpen


TUGAS BAHASA INDONESIA
RESENSI CERPEN





RESENSATOR :
LUTHFIYANA DIAN PRATIWI
23/ XI IPA-1








SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 4 SURAKARTA
Tahun Ajaran 2011/ 2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Bahasa Indonesia dengan baik.
Resensi Cerpen ini disusun untuk memenuhi Tugas Bahasa Indonesia pada Kompetensi Dasar (KD) menulis resensi sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dalam penyusunan tugas ini penulis banyak mendapatkan saran, bimbingan serta bantuan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Wulan Dwi Dayanti, S.Pd selaku guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia yang telah memberikan banyak bantuan dan masukan selama pembelajaran.
2.      Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan semangat, doa dan motivasi.
3.      Teresia Olivia Alit Imawati sebagai ketua kelas yang telah membantu dengan memberitahukan informasi beberapa judul cerpen yang sama.
4.      Amalia Mutia dan Ari Wardhayanti sebagai partner yang telah banyak membantu dalam penyusunan resensi ini.
Dalam penyusunan tugas ini, penulis menyadari bahwa resensi ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga Resensi Cerpen ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.










                                                                                                            Surakarta, Agustus 2011


                                                                                                            Luthfiyana Dian Pratiwi

I.                   IDENTITAS
Judul                : Blues Hujan-Hujan
Penulis             : Abimardha Kurniawan
II.                TUJUAN
Membantu pembaca untuk mengetahui inti dari cerita yang kemudian tertarik untuk membaca sampai akhir.
III.             SINOPSIS
Cerpen berjudul “Blues Hujan-Hujan” ini bercerita tentang seorang yang memiliki ambisi yang hebat terhadap musik dan hujan. Tokoh Aku sangat berambisi untuk menemukan kord-kord hujan dalam gitarnya sehingga dia melakukan hal-hal yang dianggab orang lain aneh bahkan gila. Orang akan berteduh setiap kali hujan turun tetapi dia selalu berlari menuju tengah lapangan desa untuk menyetem gitarnya dan memutar-mutar pasak di kepala gitar sambil kuping kirinya ditempelkan ke dinding tabung resonator. Mat Jegug, musisi kampungnya yang menganggab dia nyeleneh dan selalu mengganggunya berpendapat bahwa tidak mungkin bisa bunyi hujan ditala ke dalam nada-nada gitar. Dia tetap optimis bisa menemukan bunyi-bunyi hujan dalam gitarnya. Dia ingin mendekati hujan sedekat-dekatnya. dia berusaha untuk menangkap bunyinya karena ketika kemarau panjang dia pasti akan rindu pada hujan dan bunyi-bunyinya. Jika dia telah menemukan bunyi hujan ke dalam kord-kord gitar dia akan member nama gitarnya sebagai Gitar Hujan. Menurutnya, dari lubuk hati semua orang pasti merindukan hujan.
Cerpen ini sangat menarik untuk dibaca dan banyak pelajaran yang dapat diambil oleh pembacanya. Kita bisa mengetahui kegemaran seseorang terhadap suatu hal yang orang lain merasa aneh terhadap kegemaran tersebut. adapun tema dalam cerita ini mengenai kegemaran. Alur cerita ini bersifat maju karena inti ceritanya mengenai perjalanan seseorang yang berambisi penuh menemukan bunyi hujan dalam nada-nada gitarnya. Sudut pandang yang digunakan pengarang ialah sudut pandang orang pertama dimana seakan-akan pembaca terlibat langsung dalam cerita tersebut. Gaya bahasa yang dijiwai pengarang tinggi kebahasaannya sehingga memerlukan pemahaman penuh untuk bisa mengetahui inti ceritanya. Tokoh aku dalam cerita ini berkarakter teguh terhadap pendiriannya, bersemangat tinggi dan optimis. Meskipun demikian, tak ada gading yang tak retak. Dia juga berkarakter egois, kurang bersosialisasi dan tidak mau mendengarkan saran dari orang lain. Mat jegug berkarakter sombong karena merasa dirinya telah bersekolah sampai tinggi, sehingga mengejek tindakan tokoh Aku. Adapun amanat yang dapat saya petik adalah kita harus optimis terhadap apa yang kita impikan namun haruslah mendengarkan saran dan komentar orang lain. Tidak boleh terlalu berambisi terhadap suatu hal karena jika ambisi tidak tercapai akan merugikan diri kita sendiri.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen ini ialah nilai sosial :keinginan apapun terhadap suatu hal hendaknya tetap berinteraksi terhadap orang lain. Nilai moral: ambisi yang berlebihan tidak akan memberikan kesenangan terhadap seseorang. Ambisi berlebihan hanya memberikan seseorang terjun ke dalam keterpurukan bahkan penyesalan.
Cerita pendek Ini ditulis oleh Abimardha Kurniawan. Beliau Lahir di Surabaya, 26 Maret 1986. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia UNAIR angkatan 2004. Menulis puisi, naskah drama, esai, dan cerpen. Karya-karyanya termuat di Jawa Pos, Surabaya Pos, Majalah Stanza Unair, dan Media Kampus lainnya. Serta termuat dalam antologi bersama: Monolog Kelahiran (2006), Kepada Mereka yang Katanya Dekat Dengan Tuhan (Generasi mutakhir penyair Jawa Timur: 2007), Surabaya 714 (Malsasa 2007). Selain bergelut di dunia tulis-menulis, juga berkecimpung di dunia teater sebagai sutradara Teater Mata Angin Unair. Saat ini sedang giat di Komunitas Cak Die Rezim.
IV.             Kelebihan dan Kelemahan
Dalam cerpen ini pengarang memilih orang pertama dalam sudut pandangnya sehingga membuat pembaca seakan- akan terlibat langsung dalam cerita tersebut. Pemilihan judulnya yang sangat menarik juga menumbuhkan keingintahuan pembaca terhadap isi cerpen sehingga tertarik untuk membacanya. Gaya bahasa sastra lama yang kebahasaannya dijiwai pengarang membuat pembaca terkagum bahkan lebih terinspirasi. Namun, di masa kini kesulitan untuk memahami bacaan yang tinggi kebahasaannya memungkinkan pembaca akan berhenti sebelum menyelesaikan bacaannya.
V.                Manfaat
Cerpen ini sangat baik untuk dibaca oleh semua kalangan dimana banyak manfaat dari cerpen ini yang bisa kita peroleh. Pembaca dapat meniru karakter tokoh Aku yang tidak pernah lelah dan tetap semangat untuk menemukan not-not hujan. Tidak gentar walaupun orang sekampungnya menyebutnya aneh bahkan menyebutnya orang gila. Pembaca dapat lebih termotivasi untuk mewujudkan impiannya. Pembaca juga dapat bepikir dewasa untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya dan tidak terlalu berambisi terhadap sesuatu karena ambisi berlebihan dapat merugikan diri sendiri.

BLUES HUJAN-HUJAN
“Tapi apalah arti tantangan jika aku sendiri terlalu nyaman menjalani dan menikmatinya. Aku ibaratkan ini sebagai perjalanan penemuan diriku sendiri.”
Jazz? Kalian bilang jazz? Bukan, ini hanya sebuah komposisi kecil, semacam blues, tapi teramat sederhana sekaligus ruwet bukan main.
Lebih tepatnya, blues yang tak pernah jadi karena hanya ada tik-tik-tik hujan dan bunyi semrawut tak karuan yang terus menggangguku dengan bunyi ketukan jari-jemarinya yang tak henti menari-nari rancak di permukaan kanopi fiberglass.
Mungkin ini terlihat bodoh bagimu, tapi bukan bagiku. Ini layaknya langgam yang terus memainkan komposisi. Jangan recoki pikiranku dengan pikiranmu. Memang orang sekampung menyebutku aneh, bahkan tak jarang mereka sebut aku gila.
Ketika hujan turun, aku selalu gegas berlari ke tengah lapangan desa yang jaraknya tak berapa jauh dari rumah. Aku bawa gitar bututku. Aku duduk bersila di tengah lapangan, meyetem gitarku—memutar-mutar pasak di kepala gitar sambil kuping kiri aku tempelkan ke dinding tabung resonatornya. Sesekali aku dengarkan dengan sungguh-sungguh, aku pahami, bagaimana bunyi hujan ini.
Oh, aku mencari-cari nada yang sesuai dengan nada hujan dalam gitarku. Mat Jegug, musisi kampung yang selalu merasa jago main gitar, bilang bahwa aku memang nyeleneh. Mana bisa bunyi hujan ditala ke dalam nada-nada gitar. Itu tindakan bodoh, menurutnya.
Ya, aku tau dan paham betul kalau dia mengenyam sekolah musik sampai tinggi, bahkan juga mengajar di banyak sekolah musik. Dia sempat juga rekaman. Tapi, di sini bukan soal Mat Jegug jago main gitar atau tidak. Dalam soal ini, Mat Jegug hanya seekor nyamuk yang biasa mengganggu aku tidur malam, sampai-sampai aku kesulitan bangun pagi dan telat pergi bekerja.
Tidak penting apa pekerjaanku, ini bukan urusan kalian. Dalam cerita ini, cukup perhatikan bagaimana aku mencari bunyi-bunyi hujan dalam petikan gitar. Dan, oke Mat Jegug, keluarlah dari ceritaku. Jangan ganggu pikiran-pikiranku. Biarkan aku sendirian, mencari-cari bunyi hujan. Oho, ini memang suatu tantangan berat.
Tapi apalah arti tantangan jika aku sendiri terlalu nyaman menjalani dan menikmatinya. Aku ibaratkan ini sebagai perjalanan penemuan diriku sendiri. Tapi, mohon, jangan samakan aku dengan Frederic Chopin yang mengurung hujan dalam komposisi yang (kata banyak orang) menyayat-nyayat perasaan.
Aku tak yakin, Chopin pasti hanya berandai-andai bagaimana bunyi hujan jika diterjemahkan dalam nada-nada yang telah diwakili tuts-tuts piano. Aku ingin mendekati hujan sedekat-dekatnya. Selalu ia uarkan bunyi, jadi aku harus menangkap bunyi itu. Ketika kemarau panjang datang, hujan lama menghilang, sebelum akhirnya turun untuk waktu yang sangat mustahil diramalkan, tentu aku merasa rindu pada saat-saat itu—rindu akan hujan dan bunyi-bunyinya.
Jadi, dengan mencari bunyi hujan dalam nada-nada gitarku. Sewaktu-waktu ketika kemarau datang melanda dan tak ada kepastian kapan berhenti, aku akan bunyikan gitarku, memetik-metiknya sampai dengar kembali hujan untuk mengobati kangen.
Aku berjanji, nanti setelah aku temukan bunyi hujan dalam nada-nada gitarku, pasti tak akan aku stem lagi, aku biarkan tetap pada posisi seperti itu. Biar orang mencibir fals atau apa. Biar ahli fisika membuat pengertian yang berbeda antara nada sebagai bunyi yang punya frekuensi teratur dan tertentu, dengan hujan yang mereka golongkan ke dalam desah atau bunyi tak beraturan. Biarlah mereka menganggap seperti itu, aku tetap pada pendirianku—hujan memang sebuah komposisi yang punya dunia sendiri, punya nada-nada sendiri. Manusia selalu memaksakan diri saat memaknai sesuatu. Sungguh berlebihan. Aku tetap menempelkan kuping sisi kiriku ke tabung gitar.
Aku cari-cari. Aku putar pasak-pasak gitar. Mencari-cari. Aku berpikir dan berpikir lagi. Tapi jangan anggap aku menderita karenanya. Aku sungguh-sungguh menikmatinya, bahkan kalau perlu aku bersumpah di hadapan kalian. Seandainya sudah aku temukan, nanti gitarku ini akan aku beri nama GITAR HUJAN.
Gitar yang seluruhnya berbunyi hujan. Nanti, aku mainkan kord-kord menurutku sendiri, bukan kord-kord yang sudah ada di majalah-majalah musik. Aku lekuk-lekukkan jari-jemariku, aku mainkan menurut diriku sendiri.
Mungkin terdengar aneh bagi kalian. Tapi, inilah blues yang sesungguhnya. Bukan blues yang diciptakan kaum budak Negro di tlatah Amerika. Ini bluesku sendiri. Blues yang benar-benar terdengar sebagai bunyi hujan yang terus mengganggu perasaanku dengan ajaib. Aku juga ingin mendengar ada bunyi hujan ketika gitar aku petik.
Aku tekan senar-senarnya dengan jemariku yang terus menari-nari di leher-jenjangnya, seperti ketika butir-butir hujan mematuk apa saja yang ditemui di muka bumi. Aku hanya ingin kalian mendengar hujan, dari gitarku, itu saja. Karena aku yakin, kalian pasti merindukan hujan dari dasar lubuk perasaan terdalam, yang terdalam.
Seperti kesedihan yang selalu tersimpan, tak tau kapan muncul kembali di tengah keriangan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar